Bidak Bidak di Sudut Panggung
Ini adalah sebuah cerpen karya teman saya, Aditya Rio Wibowo. Selamat menikmati! |
Mungkin hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Anyati dan Bagjo, sepasang muda mudi yang rindunya kepada sang kekasih akan terhapus. Mereka akan kembali bertemu setelah perpisahan yang membentang karena berdentangnya sebuah kewajiban suci untuk membebaskan tanah kelahiran mereka dari kekuasaan asing. Bagi mereka, pada hari itu, hujan akan turun untuk mengusapi gersangnya hati mereka setelah kemarau panjang yang berlangsung bertahun-tahun.
Anyati sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya. Tak ayal, jantungnya semakin berdegup kencang, dan hatinya semakin melompat-lompat kegirangan saat melihat jam telah mendekati pukul delapan. Dari surat yang ia terima tiga hari sebelumnya, sang kekasih memberitahu bahwa kemungkinan besar ia akan sampai di desa pada pukul delapan pagi.
Mendekati jam delapan, Anyati akan bergegas pergi ke gapura masuk desa dengan mengendarai sepeda. Rencana si Anyati adalah, saat sang kekasih sampai di gapura, ia akan meminta sang kekasih untuk memboncengnya dalam perjalanan kembali ke rumah.
Ibunda si Anyati tersenyum saat ditanyai terus menerus oleh Anyati yang sedang bersolek didalam kamarnya.
“Bunda, sekarang pukul berapa?”, tanya Anyati sambil mengepang rambutnya.
“Anyati, sebenarnya kau tak perlu repot-repot untuk menjemput sampai ke gapura desa. Bagjo kan mengatakan dalam suratnya kalau dirimu hanya diminta untuk menunggu di rumah pada pukul delapan, dan bukan diminta untuk menjemputnya di gapura masuk desa.”
“Iya, aku mengetahui itu. Memang bunda pada masa muda dulu tak pernah antusias saat pertemuan kembali setelah perpisahan yang panjang dengan bapak?”
“Ah, dasar gadis yang sedang kasmaran. Baiklah, tapi hati-hati saat bersepeda.”
Setelah selesai mengepang rambutnya, Anyati berpamitan kepada ibundanya dan bergegas mengayuh sepeda menuju gapura desa. Ia mengayuh sepeda lebih cepat dari biasanya, sampai-sampai ia tidak memperhatikan panggilan dari temannya.
Dalam lima menit, Anyati sudah sampai di gapura. Ia menyandarkan sepedanya di pohon dekat sana. Lalu, Anyati menunggu kedatangan Bagjo sambil bersandar pada tembok gapura. Walaupun pagi itu cukup terik, tapi karena sifat kering dan dingin dari angin kemarau yang berhembus di dataran tinggi, maka cahaya yang terik tidak membuatnya merasa gerah atau kepanasan.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, atau setelah dua kali mendendangkan sebuah lagu kesukaannya, derap langkah kuda dari dokar yang disewa oleh kekasihnya mulai mendekati gapura desa. Jika saja sang kusir tidak mendengar teriakan dari Anyati yang meminta untuk berhenti, maka dokar yang disewa oleh Bagjo akan mbablas begitu saja.
Spontan, kusir itu langsung memberi aba-aba kudanya untuk berhenti. Setelah kudanya berhenti, sang kusir turun untuk membantu Bagjo menurunkan barang bawaannya. Walau Bagjo sudah menolak untuk dibantu, tapi sang kusir tetap membantu menurunkan barang bawaannya.
Sang kusir berceletuk kepada Bagjo, “sudah biar saya saja yang menurunkan barang bawaan Tuan, agar Tuan dengan segera bisa langsung memeluk kekasih Tuan yang tampaknya telah lama menunggu.”
Maka, tepat setelah Bagjo turun dari dokar, Anyati berlari menghampirinya dan langsung memeluk Bagjo, tanpa berkata apa-apa, hanya tersenyum, sebuah senyuman yang Bagjo rasakan telah dipenuhi oleh rindu dan kehangatan yang tulus.
“Dek, sudah berapa lama kita tidak bertemu?”
“Mas, sampai aku begitu rindu!”
“Hari ini kita akan membuang rindu itu bukan?”
“Benar, Mas. Kita adalah musafir yang telah menemukan kembali rumahnya masing-masing.”
“Benar sekali, Dek. Eh, itu sepedamu kan? Boleh aku memboncengmu sampai kerumahmu?”
“Justru itu yang kurencanakan untuk menyambutmu, Mas.”
“Baiklah, dek. Aku bayar dulu ongkos perjalanan dokarku.”
Bagjo menghampiri kusir tadi yang telah duduk kembali di tempatnya. Setelah menerima uang dari Bagjo, kusir tadi memekikkan kalimat yang penuh optimisme.
“Bangsa kita sebentar lagi terbebas, Tuan! Hormat dari saya bagi Tuan, dan para pahlawan pembebasan yang lain”, ucap sang kusir kepada Bagjo.
Anyati merasa bangga mendengarkan ucapan penuh hormat dari sang kusir kepada kekasihnya.
Anyati kembali menghampiri sepedanya yang ditaruh di dekat gapura, dan menuntunnya ke tempat Bagjo berdiri. Lalu, Anyati menawarkan Bagjo untuk membawakan barang bawaannya. Bagjo khawatir kalau Anyati tidak cukup kuat untuk membawa ranselnya tersebut. Namun, Anyati mengatakan kalau “perang pembebasan” ini telah menjadikan seluruh gadis dimanapun memiliki bahu yang kuat. Bagjo akhirnya setuju dan mereka segera menaiki sepeda, dimana Bagjo membonceng Anyati. Di sepanjang jalan, mereka disapa oleh tetangga-tetangga mereka. Ada yang merasa pangling dengan penampilan Bagjo setelah lama tidak berjumpa, ada yang nyeletuk kalau sebentar lagi dapur rumah Anyati akan terbuka luas untuk tempat memasak bagi acara pernikahan mereka berdua. Semua sapaan dan celetukan itu membuat mereka merasa seolah-olah dunia berputar kepada mereka.
Di tengah perjalanan, mereka memulai percakapan yang cukup panjang.
“Anyati, bagaimana kalau kita mengunjungi dulu makam orangtua Mas Bagjo dan bapak Anyati dahulu?”
“Boleh saja, Mas.”
“Baiklah, Dek. Kau tahu? Mereka adalah korban persaingan para petinggi pasukan perang. Para petinggi yang saling bersaing untuk menginginkan kekuasaan tunggal.”
“Aku tahu itu, Mas. Dulu aku kira orangtua kita gugur di tangan penguasa asing itu. Namun ternyata, mereka justru dihilangkan nyawanya oleh saudara sebangsanya sendiri! Aku takut setelah kekuatan asing itu terusir, kubu-kubu itu akan saling memerangi untuk mendapatkan kekuasaan yang tunggal.”
“Aku juga khawatir, Dek. Tapi, kubu-kubu itu telah bersedia berunding untuk membentuk pemerintahan koalisi. Otoritas pemerintah nasional, yang diakui secara sah oleh dunia internasional sebagai penyelenggara pemerintahan, mengajak milisi-milisi lain untuk duduk merundingkan pembentukan koalisi nasional.”
“Lalu bagaimana perkembangannya?”
“Memuaskan, ibarat yang dikatakan oleh atasan Mas Bagjo saat berdinas, rakyat hanya tinggal tidur saja selama beberapa hari, saat mereka bangun, maka pembebasan telah disempurnakan, dan pasukan asing sedang bersusah payah melarikan diri dari tanah kita.”
“Semoga saja, Mas.”
Di perempatan, dari arah gapura, mereka membelok ke arah kanan menuju pemakaman desa. Jalan dari perempatan menuju pemakaman tersebut membelah persawahan. Saat sudah sampai di pemakaman, sepeda tersebut mereka taruh di tepi jalan, dan Bagjo meminta ransel yang tadi dibawa Anyati untuk ia bawa. Setelah menyusuri jalan setapak yang memisahkan makam-makam, mereka sampai di deretan makam orangtua mereka.
Makam-makam itu digali empat tahun yang lalu, saat pagi hari dimana aroma hangus dari rumah-rumah yang dibakar masih menusuk hidung. Anyati pada saat itu masih menjadi gadis rumahan, dimana segala informasi dari luar hanya ia terima dari bundanya. Ibundanya mengatakan kalau kejadian itu adalah ulah pasukan asing. Sedangkan Bagjo telah menjadi agen perlawanan lokal bersama dengan kedua orangtuanya yang menjadi pemimpin resmi komite perlawanan. Karena afiliasi kedua orangtua Bagjo dan ayah Anyati kepada otoritas pemerintah nasional, mereka dieksekusi oleh faksi lain yang bermusuhan dengan otoritas pemerintah itu. Bagi faksi-faksi itu, otoritas pemerintah nasional yang ada pada saat itu dianggap sebagai kolaborator asing. Otoritas tersebut dianggap setengah hati dalam memperjuangkan pembebasan. Semua tuduhan itu terjadi karena motif persaingan politik.
Bagjo dan Anyati duduk dengan beralaskan daun. Dengan segera keduanya telah tenggelam dalam rasa khusyuk memanjatkan doa untuk para ahli kubur. Memohonkan tempat yang layak, memohonkan keadilan bagi gugurnya mereka, dan memohonkan ampun terhadap kekeliruan yang pernah dilakukan semasa hidup.
“Ah, para tertindas yang telah menjadi penindas”, Bagjo membatin mengutuki milisi-milisi itu atas kematian kedua orangtuanya dan kehancuran keluarga-keluarga yang lain.
Bagjo lalu mencubit hidung Anyati untuk memberikan tanda mengajak pulang. Keduanya berjalan begitu cepat saat meninggalkan makam. Sedikit-sedikit, Bagjo menoleh ke belakang menatap wajah Anyati, dan dibalas dengan oleh Anyati dengan raut wajah yang malu-malu. Menggemaskan melihat gerak-gerik keduanya.
Oh, wahai bunga-bunga yang sedang mengalami musim seminya, kalian membuat iri ranting-ranting yang kedinginan nan membeku dari musim dingin, dan yang juga membuat sedih daun-daun yang berguguran dari musim gugur. Janganlah kalian merasa musim semi itu abadi, tidak ada yang tahu kalau bisa saja kalian layu saat musim semi.
Ibunda Anyati sedang duduk-duduk di teras, dengan sebuah teko berisi teh dan tiga cangkir yang ditaruh diatas meja disampingnya. Mendengar ada lonceng sepeda yang dibunyikan, ia langsung menoleh mencari sumber suara itu. Ternyata, suara lonceng itu berasal dari jalan samping rumahnya berbarengan dengan munculnya Anyati yang dibonceng oleh Bagjo. Dengan naluri seorang yang sudah lama tak bertemu, Ibunda Anyati spontan menyapa Bagjo dengan keras. Bagjo juga terlanda naluri itu, sehingga tepat setelah turun dari sepeda, ia mengacuhkan Anyati yang membawa ransel berat miliknya untuk langsung bersimpuh dihadapan Ibunda Anyati.
Setelah Bagjo selesai bersimpuh, Ibunda Anyati mempersilahkan keduanya duduk, dan Bagjo kembali tersadar kalau ranselnya masih dibawa oleh Anyati, ia cepat-cepat mengambil ransel itu dari Anyati. Ibunda Anyati lalu menuangkan teh untuk mereka minum.
“Kau nampak lebih dewasa, Bagjo.”
“Begitulah, Lik. Kesulitan-kesulitan yang ada telah membawa diri saya menjadi lebih dewasa.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan disini? Apakah kau masih terikat dinas?”
“Rencananya, saya akan ditugaskan untuk memimpin pembentukan pemerintahan koalisi untuk wilayah kabupaten kita, jika faksi-faksi milisi setuju untuk membentuk pemerintahan koalisi nasional.”
“Kau akan bersekutu dengan mereka yang menghancurkan kehidupan keluarga kita? Jujur, dari hatimu yang paling lembut, apakah hatimu itu tak merasa terkoyak?”
“Begitulah, Lik. Aku berusaha melapangkan dada seperti para petinggi itu, yang aku tahu mereka jarang sekali kehilangan orang dekat mereka, sehingga ringan sekali untuk melakukan persekutuan dengan lawan tanpa terbawa perasaan sakit seperti yang dialami bidak-bidak seperti kami.”
“Tapi Bagjo, kau tetap setuju dengan koalisi itu kan?”
“Setuju, Lik.”
“Maka lakukanlah tugasmu!”
“Baiklah, Lik.”
Anyati tampak kurang suka jika rencana penugasan itu benar-benar dijalankan. Namun, Anyati enggan memusingkan hal itu, ia hanya ingin menikmati kesempatan menatap dan menggandeng Bagjo sampai mereka dipisahkan kembali. Bagjo juga begitu, ia ingin mendekap dan mengunjungi sisi paling gelap dari hati Anyati, lalu memberikan cahaya yang teduh agar kedamaian menjadi penghuni tetap bagi hati Anyati.
Selama sebulan, kegiatan mereka hanya berlangsung di rumah, kebun, sawah, atau bersepeda. Kalau ada pemandangan senja yang bagus, mereka akan menjadi pujangga dadakan, saling merayu menggunakan sajak. Begitulah kehidupan mereka, sampai suatu hari sebuah stasiun radio menyiarkan pesan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat, yaitu kabar bahwa pembebasan tanah air telah disempurnakan, dan pemerintah koalisi telah terbentuk. Artinya, setelah ini Bagjo akan kembali sibuk, namun berbeda dengan sebelumnya, setelah ini ia akan selalu didampingi Anyati sang kekasih.
Tepat tiga hari setelah pengumuman itu dikumandangkan, seorang kurir dari pemerintah koalisi mendatangi rumah Anyati untuk menyampaikan surat pengangkatan bagi Bagjo. Ia tidak hanya didapuk sebagai ketua komite, tapi juga pelaksana eksekutif untuk kabupaten setempat. Bagjo terkejut, begitu juga dengan Anyati dan ibundanya. Ibunda Anyati hanya tersenyum mendengar kabar itu, lalu ia beranjak pergi ke belakang.
“Jujur saja, Anyati, aku tidak akan mampu mengemban tanggungjawab sebesar itu”, Bagjo berkata dengan tegas sambil menaruh kembali amplop keatas meja ruang tamu.
“Kenapa kau merasa tidak mampu, Mas? Apakah karena rasa sakit mengenai kejadian empat tahun lalu itu? Aku memaklumi itu, Mas. Bahkan kejadian itu yang menumbuhkan perasaan senasib diantara kita”, timpal Anyati dengan penuh simpati.
“Kejadian empat tahun yang lalu bagiku sudah menjadi abu, Anyati, bersama dengan hangusnya rumahku. Seluruh air mataku juga sudah menguap dari kantung air mataku, Anyati, bersamaan dengan terbakarnya rumahku empat tahun yang lalu. Aku ada alasan lain mengapa tak menerima pengangkatan itu. Tapi, jangan bersedih, aku akan mengajukan keringanan penugasan. Paling tinggi, aku hanya ingin diamanatkan untuk mengemban tugas membentuk komite tingkat distrik, Anyati.”
“Baiklah, Mas. Semoga kantung matamu itu tidak tercipta karena selalu dihantui oleh apa yang kau katakan sebagai alasan lain itu. Setidaknya, aku memaknai pengangkatanmu itu sebagai besarnya rasa kepercayaan dari mereka terhadap kinerjamu pada saat penugasanmu yang sebelumnya. Kau mungkin menjadi idaman banyak gadis-gadis ditempat dinasmu dulu, kan? Kau tampan, juga cakap pula dalam memimpin. Jadi, bagaimana bisa ada seorang gadis disana tak ingin memilihmu?”
“Ah, Anyati. Kalaupun memang mereka mengagumi dan akan dengan senang hati menerimaku, tapi hanya kau, dimana bagiku satu itu lebih banyak dari seribu. Kau bagiku istimewa, Anyati. Aku izin masuk ke kamarku untuk menulis surat balasan kepada komite.”
Anyati hanya tertawa kecil, dan mempersilahkan Bagjo masuk ke kamarnya.
Dalam kamarnya, Bagjo dengan tekun dalam meneliti setiap kata yang ditulis. Hampir sepuluh carik kertas ia habiskan untuk membuat draf bagi surat balasan. Pada akhirnya, surat itu selesai ia tulis, dan tiba-tiba ada suara ketukan, di mana Ibunda Anyati meminta izin untuk masuk.
Bagjo mempersilahkan Ibunda Anyati masuk, dan mengambilkan kursi. Sedangkan Bagjo pindah duduk di tepi ranjangnya. Ibunda Anyati duduk dan langsung mengutarakan maksudnya, tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Bagjo, aku menarik kembali kata-kataku yang pernah aku ucapkan saat hari pertama kau datang. Tolaklah tawaran untuk menjadi pelaksana eksekutif, nyawamu masih belum pantas untuk harum dengan bunga kenanga, kau masih terlalu muda untuk dimandikan seperti almarhum ayahmu. Anyati masih membutuhkanmu, dan aku, yang secara penampilan dan stamina terlihat lebih renta daripada usiaku yang sebenarnya, juga membutuhkanmu. Carilah pengabdian yang lain. Ketahuilah, sekarang aku sedang menahan tangis. Entah karena apa. Janganlah keluar dari desa ini, Bagjo. Temanilah aku, temanilah Anyati, dan temanilah gubuk ini. Kalau kau memang ditakdirkan gugur, gugurlah dirumah ini, gugurlah didalam pelukan Anyati, supaya Anyati menjadi orang pertama kali yang mengusap darahmu, juga supaya aku yang pertama kali merawat jasadmu. Supaya aku juga yang memberikan kesaksian diatas makam kedua orangtuamu tentang keberangkatanmu untuk menyusul mereka di surga.”
Bagjo sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ibunda Anyati. Tiba-tiba Bagjo merasa gentar, dari balik syarafnya ia merasakan apa yang ia sebut sebagai ketajaman penglihatan dari orang-orang berumur mengenai ramalan buruk. Namun, ia juga merasa lega ternyata keberatannya didukung oleh Ibunda Anyati.
“Baiklah, Lik. Saran yang diberikan bagiku sangat tepat. Dengan memohon restu, aku akan kirimkan surat keberatanku ini, Lik. Semoga komite berkenan memahami keberatanku”, Bagjo hanya membalas dengan kalimat singkat namun dengan suara yang telah diatur agar terdengar penuh kemantapan.
“Bagus, Bagjo. Bolehlah aku melihat suratmu?”
Tiba-tiba Bagjo sedikit merasa terhentak, dan salah tingkah.
“Maaf, Lik. Dalam aturan dinas, setiap surat balasan yang dikirim oleh seseorang yang sebelumnya telah menerima surat dari suatu instansi maka sifatnya rahasia”.
Bagjo sebenarnya menyembunyikan sesuatu karena dalam surat tersebut tercantum alasan penolakan Bagjo yang sungkan untuk ia beritahukan kepada Ibunda Anyati.
“Baiklah, Bagjo. Berjanjilah padaku, dan tak perlu kau ulangi kepada Anyati, bahwa kau tidak akan pergi dari sini. Embanlah amanat paling jauh sampai setingkat distrik.”
Maka Bagjo mengucapkan kalimat baku yang biasanya diucapkan untuk bersumpah, “lisanku dan batinku, berkata dengan teguh kepada Lik, dan Anyati, bahwa aku tidak akan meninggalkan tanah ini.”
Setelah Bagjo selesai berjanji, maka Ibunda Anyati bergegas keluar. Bagjo lalu berganti pakaian, dan keluar untuk menuju kantor pos. Anyati diam-diam menyaksikan kejadian tadi, tapi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Anyati meminta Bagjo untuk membolehkannya ikut pergi ke kantor pos. Dengan senang hati Bagjo membolehkannya ikut.
Beberapa hari kemudian, sebuah surat balasan dari komite datang. Komite menyetujui keberatan Bagjo, dan juga menyetujui permintaan Bagjo untuk ditempatkan di distrik setempat.
Janji kepada Ibunda Anyati, dan Anyati untuk tidak meninggalkan desa itu bisa terlaksana. Tapi, kekhawatiran yang menghantui dari ucapan Ibunda Anyati semakin merambat. Bagjo merasa ngeri saat mengingat bagaimana Ibunda Anyati berharap bahwa desa ini menjadi tempat gugurnya Bagjo jika memang ia ditakdirkan gugur. Ia merasa bingung, siapakah yang akan menghabisinya di masa yang sudah damai seperti ini. Semua pihak yang dahulu saling bertikai sudah mengarahkan kepalanya dengan tegap ke depan, tanpa merasa sedikitpun untuk menuntut balas kepada pihak sana-sini. Ketika berpikir seperti itu, kekhawatirannya menjadi berkurang. Ia memang seharusnya meringankan pikiran dia agar lancar dalam menjalankan amanat yang ia pilih sendiri untuk diemban.
Keesokan hari setelah surat itu sampai, Bagjo memimpin rapat pembuka di balai desa setempat. Kepala desa setempat dengan senang hati meminjamkan pendoponya sebagai tempat penyelenggaraan rapat. Pukul enam pagi, tamu undangan telah datang. Sekat-sekat yang dulu pernah ada sudah tidak terasa lagi. Hadirin yang datang tidak lagi dapat diidentifikasi berasal dari faksi mana karena semuanya memakai pakaian yang seragam. Setelan baju hitam dengan celana hitam, dan kopyah hitam.
Bagjo merasa lega melihat suasana itu. Rapat dibuka pada pukul tujuh pagi dengan agenda pemilihan komite pengurus, jangka waktu kerja, dan unit pelaksana harian. Secara aklamasi, Bagjo diangkat sebagai pelaksana eksekutif distrik. Lalu, setelah diambil sumpah jabatan, Bagjo memberikan pendapat terhadap segala urusan yang dianggap perlu bagi terlaksananya pemerintahan sementara mulai dari unit pelaksana harian sampai penyediaan anggaran. Semuanya, kecuali urusan penyediaan anggaran, berjalan lancar. Rapat pada hari itu selesai pada pukul dua siang.
Selama dua minggu Bagjo sibuk memimpin rapat, dan melakukan persuasi kepada setiap pihak yang terlihat kurang setuju dengan hasil rapat. Anyati setiap hari datang untuk mengikuti jalannya rapat, dan menghampiri Bagjo di sela-sela waktu istirahat rapat. Anyati membawakan bekal makan siang bagi Bagjo. Setiap sesuap nasi yang masuk ke mulutnya, Bagjo rasakan seolah-olah ada kehangatan dari seorang istri kepada suaminya. Baginya, ia dan Anyati adalah dentingan merdu antara tulang punggung dan tulang rusuk yang saling bertemu.
Malam hari menjadi waktu yang Bagjo gunakan untuk bercengkerama sambil menatap rembulan bersama Anyati. Di teras rumah, ia dan Anyati terus menerus bercakap-cakap sampai tidak sengaja tertidur. Termasuk juga pada malam itu, sampai Bagjo harus merayu Anyati yang matanya sudah terpejam agar tidak terlelap terlalu cepat.
“Anyati, bukalah kelopak matamu lebar-lebar. Biar aku bisa melihat diriku di kedua bola matamu dalam potret yang lebih indah, karena kau memandangku dengan cinta.”
“Ah, Mas. Aku ingin memelukmu, tapi tanganku terlalu pendek untuk memeluk matahari.”
Ibunda Anyati yang mendengar itu hanya bisa tersenyum, dan menyuruh mereka untuk masuk ke dalam rumah karena hari sudah malam. Malam itu, mereka tertidur dengan lelap, dan damai. Tanpa mereka mengetahui bahwa api-api yang berasal dari ibukota sudah mulai meluncur menerjuni singgasana untuk membakar siapa saja seperti yang diperintahkan oleh sang raja baru. Kudeta telah terjadi di istana, dan perintah penangkapan telah dikeluarkan kepada mereka yang ikut serta dalam pembentukan pemerintahan koalisi. Sekali lagi, bidak-bidak akan dikorbankan demi kepentingan elit.
Malam itu, desa tempat Bagjo tinggal sepi seperti biasanya. Hanya ada patroli dari tentara yang berlalu lalang di sepanjang jalan. Tentara tersebut tidak memberlakukan jam malam. Tapi dengan penuh kesadaran, masyarakat setempat tidak keluar rumah diatas jam sembilan malam.
Keheningan itu harus dipecah oleh bunyi letupan senapan. Semua peluru yang berasal dari letupan itu menyasar kepada tentara yang berpatroli itu, dan banyak yang bersarang di tubuh mereka. Pasukan itu berhasil melumpuhkan regu tentara tersebut. Lalu komandan pasukan penyerang tersebut menunjukkan foto Bagjo dan letak tempat tinggalnya kepada pasukan yang dipimpinnya. Pasukan itu langsung meluncur secara senyap, dan dengan begitu mudahnya masuk kedalam rumah Anyati.
Bagjo terbangun oleh moncong senapan yang mendorong-dorong dahinya. Ia diperintah untuk duduk sambil mengangkat kedua tangannya. Anyati dan Ibundanya yang berada di kamar sebelah juga diperintahkan untuk duduk sambil mengangkat kedua tangan. Lalu, ketiganya digiring keluar menuju pelataran rumah, dalam keadaan mengangkat kedua tangan sambil berjongkok. Mereka menerima banyak sumpah serapah, termasuk Bagjo yang mulai kesulitan bernafas setelah kepala dan dadanya dihantam oleh tangan, sepatu, dan juga popor senapan dari pasukan yang menangkapnya. Ibunda Anyati dengan suara yang tenang menanyai maksud kedatangan pasukan itu, dan menyumpahi kelancangan mereka karena menganiaya Bagjo. Sedangkan Anyati, ia terlarut dalam tangisan penuh ketakutan, dan rasa pedih saat menyaksikan Bagjo sang kekasihnya, disia-siakan tanpa belas kasihan oleh pasukan itu. Anyati hanya mampu berteriak tanpa bersuara.
Komandan regu tersebut mulai berbicara kepada Ibunda Anyati mengenai maksud kedatangan mereka. Komandan itu mengatakan bahwa otoritas pemerintahan nasional dibawah kepemimpinan presiden saat ini telah keblinger membuka kesempatan kerjasama dengan faksi milisi-milisi lain untuk membentuk pemerintahan koalisi. Maka dari itu, panglima militer negara, dengan bijaksana dan terarah merasa memiliki tanggungjawab untuk meluruskan pemerintahan yang ada melalui penggulingan presiden tersebut dan serta menerapkan darurat militer guna melancarkan penangkapan terhadap para petinggi dan anggota faksi-faksi milisi lain, serta mereka yang ikut serta dalam pembentukan pemerintah koalisi. Bagjo, yang secara terang ikut dalam pembentukan pemerintahan koalisi, dan memiliki riwayat berdinas dibawah kepemimpinan presiden yang telah digulingkan juga dianggap harus ditangkap.
Bagjo yang pingsan, dibawa pergi oleh pasukan tersebut menggunakan tandu. Kepedihan mereka melihat Bagjo yang terkapar semakin bertambah ketika menyaksikan tubuh Bagjo terjatuh dari tandu sambil diiringi oleh sumpah serapah dari pasukan itu beserta satu tendangan yang mendarat di kepalanya. Ibunda Anyati hatinya hancur melihat itu, sehingga ia pingsan. Sedangkan Anyati berteriak sampai pipi kirinya dihantam popor senapan oleh salah seorang anggota pasukan itu. Anyati akhirnya juga dibawa pergi oleh pasukan itu, dan berjalan tepat di belakang pasukan yang menandu tubuh Bagjo. Sedangkan ibundanya, dibawa kembali masuk kedalam rumah oleh pasukan sisanya.
Malam itu, mereka berjalan menuju suatu tempat yang disebut oleh pasukan tersebut sebagai barak tenda. Anyati merasa kelelahan karena dipaksa berjalan sejauh hampir sepuluh kilometer dari desanya menuju barak itu. Saat fajar menyingsing, Anyati baru sampai di barak tersebut. Ia ditempatkan di sebuah ruangan. Ternyata Bagjo sudah ada disana dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Ia dibaringkan tanpa alas. Anyati menangis, ia ingin menguras seluruh air matanya supaya menguap sama seperti air mata Bagjo pada empat tahun yang lalu.
Anyati lalu mendekati tubuh Bagjo. Memeluk tubuhnya dengan perasaan yang baru. Sebuah pelukan yang akan menjadi pelukan perpisahan, yang berbeda dengan beberapa minggu yang lalu ketika pelukan antara mereka adalah sebuah pelukan pertemuan. Bagjo hanya terdiam, terus terdiam, ia tak mengeluarkan rintihan atas rasa sakitnya, matanya terpejam. Anyati bak menjadi seorang bayi yang tidak tahu apa-apa, ia terus mengguncang-guncang tubuh Bagjo, seolah-olah Bagjo hanya tertidur. Namun Bagjo tetap diam. Nafas yang terdengar tersengal-sengal dari Bagjo menjadi satu-satunya tanda bahwa nyawa kekasihnya belum pergi. Anyati pasrah dalam ketidakberdayaan. Ia kembali mengingat perkataan ibundanya kepada Bagjo yang diam-diam ia dengarkan. Jika Bagjo memang ditakdirkan gugur, maka biarlah ia gugur dalam dekapannya. Kalimat itu lalu membuat Anyati sedikit lebih tegar. Ia langsung mengubah posisi badannya, dan mengangkat kepala Bagjo untuk dibaringkan diatas pahanya.
Tiba-tiba terdengar suara yang berat, dan sedikit terbata-bata. Itu adalah suara yang dikeluarkan oleh Bagjo. Sontak Anyati keluar dari perenungannya, dan mampu menguasai kembali dirinya.
“Anyati, ini dekapanmu, kan?”, ucap Bagjo dengan huruf vokal yang tertahan.
“Mas! Syukurlah! Benar, ini dekapanku. Lihatlah, Mas, apa yang dilakukan oleh mereka para petinggi. Kau ingat apa yang aku katakan saat hari kedatanganmu ke desa? Setelah bangsa asing itu terusir, maka mereka akan saling memerangi untuk mendapatkan kekuasaan yang tunggal. Hari ini hal itu benar-benar terjadi, Mas.”
“Anyati, aku sebenarnya bisa saja sama seperti mereka. Terkadang muncul sifat tamak, merasa tersaingi, dan benar sendiri. Banyak manusia yang juga punya sifat seperti itu, termasuk aku yang hanya sebagai bidak dalam kejadian saat ini. Hanya saja, beberapa dari manusia itu sadar akan kekurangan dari sifat mereka, sehingga tidak berani mengambil kekuasaan yang besar. Maka dari itu, aku kemarin enggan mengambil jabatan sebagai pelaksana eksekutif kabupaten, karena aku tahu, aku akan memiliki wewenang untuk memobilisasi militer. Aku takut kekuasaan akan mengubahku. Jika sifat burukku dimanjakan oleh wewenang itu, maka bisa saja masa pemerintahanku tidak ada bedanya dengan mereka para petinggi-petinggi itu. Aku bisa saja memilih jalan kekerasan untuk menghancurkan lawanku”, jawab Bagjo dengan sedikit nada sendu, seolah-olah sudah tahu akan nasibnya dari awal, dan menerima nasib itu sebagai suatu hal yang biasa.
Lalu Bagjo melanjutkan, “ya, memang aku bisa saja mempunyai sifat buruk itu, tapi setidaknya aku tahu diri! Mereka petinggi-petinggi itu adalah orang yang tidak tahu diri, sehingga berebut kekuasaan dan saling menghancurkan. Surat kemarin yang dikirimkan ke komite menjelaskan penolakanku dengan alasan yang sangat pribadi sehingga aku menolak permintaan Bulik untuk memperlihatkan isinya.”
“Mas, kau meracau?”, tegur Anyati dengan sebuah perasaan emosi yang ia tahan.
“Aku tidak meracau, Anyati. Aku dengan sadar mengatakan apa yang aku katakan. Semua ini terjadi karena sifat tidak tahu diri atas kekurangan! Jika mereka sadar dan menahan diri untuk tidak mengambil tampuk kekuasaan disaat mereka merasa kekuasaan itu akan membuatnya lupa diri, maka semua ini tidak akan terjadi. Sifat tidak tahu diri itulah yang telah menghancurkan banyak keluarga lain, termasuk rakyat kecil yang tiba-tiba menghilang dari gubuknya, menyisakan gadis kecil yang memanggil-manggil ayahnya, dan menyisakan persediaan bahan makanan yang semakin menepis.”
“Mas, mengapa ucapanmu menjadi liar seperti ini? Duhai, kau akan menyesal, Mas.”
“Tidak, Anyati, aku yakin dengan ucapanku. Aku tidak akan menyesal. Penglihatan Bulik terhadap nasibku telah terjadi. Aku akan gugur didalam dekapanmu. Kau akan menjadi orang yang pertama yang mengusap darahku setelah aku gugur. Hal itu menjadi sebuah kebanggaan bagi kita, Anyati. Kita telah menjadi pasangan yang kuat. Aku gugur, kau tegar. Aku benar-benar mencintaimu, Anyati. Kita pada akhirnya hanya menjadi bidak, Anyati. Berdarah-darah demi seseorang yang tak akan pernah mengenal kita.”
Air mata Anyati tumpah dengan deras membasahi dahi Bagjo. Bagjo tersenyum, dan tangannya yang lemah itu berusaha mengusap kedua mata Anyati. Ketika tangan Bagjo menyentuh pipi Anyati, jari-jari Bagjo disambut dengan genggaman erat oleh tangan Anyati. Mereka sejenak menjadi musafir yang telah menemukan kembali rumahnya, selesai dengan pengembaraannya, dan bersyukur atas apa yang didapatkan. Anyati memejamkan mata untuk menggugurkan air matanya yang menggantung.
Sambil mempererat genggamannya, Bagjo mengeluarkan sebuah kalimat.
“Anyati, jangan terus terpejam. Tataplah rembulan itu. Aku suka, ketika melihat dua keindahan saling bertatapan.”
Kalimat itu dibalas dengan senyuman oleh Anyati. Ia sejenak menatap wajah Bagjo, pandangan mereka saling bertemu. Lalu Anyati beralih menatap rembulan. Sedangkan Bagjo terus menatap Anyati, kekasih yang baginya sama indahnya seperti rembulan. Anyati masih dalam pandangannya kepada rembulan, saat tanpa Anyati sadari, tubuh Bagjo telah mendingin. Bagjo yang malang telah gugur, dalam dekapan Anyati, dibawah cahaya indah rembulan.
Satu bidak telah menjadi korban. Satu manusia yang menginsyafi sifatnya untuk tidak mengambil kekuasaan telah gugur.
~fin~